Dicari ! Pengawasan dan Sinergi Komprehensif

Berita gembira untuk orang tua di tanah air, “tayangan smack down dihentikan.” Sebenarnya tayangan yang memvisualisasikan aksi kekerasan tersebut bukanlah barang baru. Pada dekade lalu acara ini pernah disiarkan pada siang hari dan tidak tercium indikasi jatuhnya korban dari pecinta smack down.

Sekarang, reaksi dan tuntutan keras dari berbagai pihak muncul bertubi-tubi menuntut pencakalan tayangan gulat penuh trick ini. Memang, banyak fakta yang membuktikan jatuhnya korban anak-anak akibat meniru adegan membahayakan smack down.

Pertanyaannya, apakah pencekalan acara smack down dapat menekan angka korban kekerasan? Apakah efek buruk dari tayangan TV saat ini hanya menimbulkan tindak kekerasan? Apakah tugas dari lembaga kontrol penyiaran telah selesai sampai di sini? Jawabannya, tentu tidak.

Belum Jaminan

Pertama, penulis bukan tidak setuju dengan pencekalan ini. Namun kita semua paham bahwa sedikitnya ada tiga fungsi krusial media. Yaitu, menyuguhkan informasi yang bermanfaat, memberikan pendidikan yang bermartabat dan menyajikan hiburan yang tidak merusak.

Kenyataan yang terjadi, tayangan kekerasan yang kita temui di televisi bukan saja berasal dari acara smack down. Masih banyak siaran lain yang menggambarkan anarkisme, baik eksplisit maupun implisit. Misalnya film-film action yang mengandung adanya pesan hewani manusia. Yaitu perbuatan benci dan dendam yang memancing tindak anarkis untuk saling bunuh, melukai, berkelahi, atau adegan sadis lainnya.

Bahkan, tayangan pemberitaan seputar tindak kriminal, secara sadar maupun tidak dapat berpotensi menjadi salah satu inspirator bagi anak-anak -yang memiliki sifat imitator- untuk berbuat kejahatan. Demikian bagi khalayak dewasa yang hati dan pikirannya sedang rapuh dan prustasi. Di sini sangat dibutuhkan peran lembaga pengontrol media agar dapat lebih menyeleksi siaran yang layak tayang.

Contoh yang paling nyata bisa kita lihat pada liputan teror bom yang ditayangkan BBC. Praktis hanya sehari saja liputan dilakukan secara besar-besaran. Itu pun tanpa ada darah dan mayat yang menjadi korban. Selanjutnya, ketika tidak ada perkembangan penyidikan yang berarti, tidak ada tayangan lanjutan teror bom itu (Tajuk Rencana, Kompas, 01/12/06).

Memang, belum saatnya dunia pertelevisian di Indonesia mampu menyamakan –apalagi menyaingi- kualitas media di negara maju. Namun, setidaknya kita dapat belajar untuk terus meningkatkan kinerja agar lebih memiliki nilai moral yang lebih.

Multi Efek

Kedua, selain menyajikan tayangan kekerasan. Tidak sedikit hiburan yang disajikan dunia pertelevisian kita mengandung nilai-nilai hedonis, permisif, atau siaran hiburan yang jauh dari nilai edukasi. Semua bisa dilihat dari maraknya acara kuis berhadiah, sinetron, infotainment, atau beberapa reality show yang tidak berbobot.

Hiburan-hiburan yang mewarnai layar kaca banyak sekali “mendoktrin” khalayak agar berbuat mubazir, bersenang-senang, bergosip ria, dan berpikir instan tanpa usaha yang riil. Apalagi sinetron yang menggambarkan siswa SD maupun SMP berpacaran. Atau kuis berhadiah yang melebarkan kesenjangan sosial dan menanamkan kultur malas. Ini jelas dapat menjadi bahaya laten yang menghambat perkembangan dan pemikiran generasi bangsa.

Ketiga, jam tayang siaran-siaran tersebut dapat dengan mudah dijumpai anak-anak. DR. Benjamin Spock, dalam bukunya Membina Watak Anak, usia antara satu hingga tahun anak-anak sudah mulai merasakan dengan jelas bahwa diri mereka merupakan pribadi yang tersendiri, yang menekankan keinginan tersendiri pula (DR. Benjamin Spock, 1982: 50).

Jika mereka terus mengkonsumsi tayangan yang tidak mendidik, secara otomatis kita mendukung generasi bangsa ini untuk memiliki keinginan yang disajikan melalui layar kaca. Apalagi tanpa pengawasan yang ekstra ketat.

Refleksi dan Sinergi

Pencekalan siaran adegan smack down tentu menjadi langkah awal yang baik. Dengan legowo, pengusaha televisi terkait mampu mengedepankan etika pers yang berlandaskan moral. Adrenalin para orang tua meningkat demi menjaga perkembangan dan pendidikan anaknya. Peran dan fungsi lembaga kontrol TV –Komisi Penyiaran Indonesia, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, Asosiasi Televisi Swasta Indonesia, atau Departemen Komunikasi dan Informasi- telah bekerja secara optimal. Namun semua tugas belum selesai sampai di sini.

Karena kembali kepada masalah smack down dan masa depan moralitas masyarakat, jangan dilupakan bahwa adegan smack down bukan hanya dapat dikonsumsi melalui siaran TV. Kini melalui play station (PS), atau VCD di berbagai rental penyewaan, smack down volume satu dan seterusnya siap mempermudah akses informasi kekerasan yang diburu anak-anak. Tayangan-tayangan TV yang bernuansa dekonstruksif versi lain pun masih bergentayangan di layar kaca.

Untuk itu, refleksi dan sinergi semua pihak sangat dibutuhkan demi mewujudkan negeri yang bermoral tinggi. Dari orang tua hingga pemerintah dituntut agar lebih mampu melakukan tindakan preventif secara dini. Bukankah kita tidak menginginkan ada korban lain dari motif atau tayangan berbeda di kemudian hari?

Tidak ada komentar: